Senin, 11 Januari 2010

punk rock jalanan

Punk Rock Jalanan”
(kisah ini Terinspirasi dari kisah nyata)


Tersebutlah seorang pemuda berusia 15 tahun. Namanya Tigor bersekolah kelas 3 SMP

Kartika Balikpapan. Lahir di keluarga baik-baik. Konon ceritanya keluarganya yang

tadinya kaya-raya mendadak jatuh miskin karena perusahaan sang ayah yang bergerak

di bidang kontraktor sipil gulung tikar. Di tengah hobinya bergabung dengan klub

BMX, Tigor tidak dapat memenuhi kebutuhannya untuk menyalurkan hobinya itu lebih

dalam…yaitu memakai barang-barang bermerk di tubuhnya, membeli ornamen-ornamen

untuk sepedanya, dan sebagainya. Belum lagi ejekan dari teman-teman satu klub yang

selalu diterimanya. Sementara di satu sisi, terdapat sebuah klub juga yang menamai

diri mereka ‘street guys‘. Dalam jiwanya yang labil, Tigor akhirnya membelot.

Anak-anak ‘street‘ jiwa kekeluargaannya lebih besar dibanding anak-anak BMX yang

berasal dari keluarga ‘berada’.

Tigor mulai merokok, bahkan untuk anak seusianya

yang masih tergolong belia, ia sudah mulai mengenal alkohol. Orang tuanya tak

henti-henti menasehatinya, tapi doktrin punk terlalu kuat…isinya antara lain

“Nazi fuck…polisi anjing…kita bukan budak, jangan mau disuruh-suruh…kami

anti kemapanan!!!”. Orang tuanya hanya bisa mengurut-urut dada saja ketika Tigor

membantah sewaktu disuruh membuang sampah rumah tangga mereka di tempat pembuangan

sampah yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Hingga suatu waktu sang ayah marah

besar ketika Tigor membentak beliau hanya karna disuruh pergi ke warung makan.

Kemarahan sang ayah membuat Tigor begitu sakit hati karena Tigor belum pernah

melihat sang ayah semarah itu kepadanya. Tigor pergi dari rumah tanpa membawa baju

ganti satupun. Ia pergi bersama kumpulan barunya yaitu ‘street guys‘ ato lebih

kita kenal dengan nama anak punk yang sesungguhnya keberadaan mereka sangat

meresahkan masyarakat sekitar dan selalu membuat para polisi jengkel.

Di sinilah petualangan Tigor dimulai. Bersama kumpulan barunya ia ikut mengamen di

lampu merah, jika lapar dan tidak cukup uang ia mentegakan dirinya mengorek-ngorek

tempat sampah demi mengobati perutnya yang sangat kelaparan. Sementara ayah dan

ibunya menangis berhari-hari di rumah, berharap Tigor, anak laki-laki satu-satunya

mereka segera pulang ke rumah. Tigor memiliki seorang kakak perempuan yang

kemudian diasuh oleh tantenya setelah mereka jatuh miskin.

Akhirnya suatu saat

ibunya mendapati anak lelakinya itu sedang mengorek sebuah tong sampah. Kulitnya

bertambah hitam, tubuh jangkungnya terlihat semakin kurus, rambutnya yang hitam

legam bagus berubah menjadi model mohawk yang tak beraturan dan berwarna merah

yang entah mungkin dari cat rambut murahan. Ibunya menangis melihat anaknya itu

dan memintanya pulang ke rumah. Tapi Tigor tetap membantah sampai akhirnya

temannya membujuknya untuk pulang…dan pulanglah ia.

Ayahnya mulai mengalah

padanya. Motor satu-satunya yang tersisa di rumah itu khusus untuk Tigor pakai. Tigor mulai mau sekolah lagi, tapi di akhir pekan, tak ada yang bisa menghalangi

langkahnya untuk pergi ke Samarinda, 2 setengah jam dari Balikpapan waktu

tempuhnya, bersama anak-anak punk. Namun ayah dan ibunya tak begitu khawatir

karena di Samarinda banyak tante-tante dan sepupunya.

Sampai akhirnya ia

berkenalan dengan seorang gadis kelas 3 SMP di SMPN 2 Samarinda bernama

Liza. Kebetulan Liza adalah teman satu sekolah sepupunya. Tigor pulang ke

Balikpapan dengan hati berbunga-bunga. Bertambah rajinlah ia berkunjung ke

Samarinda karena gadis bernama Liza ini. Orang tuanya sungguh khawatir sesuatu

terjadi padanya sepanjang perjalanan lintas kota itu. Akhirnya kelulusan tiba

juga. Tigor masuk ke STM Swasta satu-satunya di Balikpapan, jurusan

elektro.

Belum selesai cobaan yang harus Tigor dan keluarganya terima, berawal

dari kecurigaan kedua orang tuanya kalau si anak buta warna karena Tigor

sangat susah membedakan antara warna merah muda dan hijau, ditambah lagi dengan

sang ayah adalah seorang yang buta warna. Akhirnya keluarga membawanya ke

puskesmas, namun kata puskesmas hanyalah kurang latihan. Oleh karena itu kedua

orang tuanya tetap nekad memasukkan ke STM yang terdekat dari rumahnya.Namun

karena sudah dilatih berulang-ulang si Tigor belum juga bisa menghafal warna-warna

tersebut, dengan bantuan sang tante, kemudian Tigor kembali untuk melakukan pemeriksaan dan dibawa ke dokter spesialis mata. Tigor dinyatakan buta warna parsial (60%).

Bermaksud baik, sang ibu

membawa surat pernyataan dari dokter itu ke pihak sekolahnya agar anaknya

dipindahkan jurusan ke jurusan otomotif saja. Ternyata pihak sekolah malah

beranggapan bahwa anak buta warna sama sekali tidak bisa masuk di STM di jurusan apapun, jadi lebih

baik pindah ke sekolah umum saja. Padahal STM tersebut sebelumnya tidak melakukan

test buta warna terhadap calon-calon siswanya maupun meminta surat pernyataan

tidak buta warna terlebih dahulu dari para calon siswanya, seperti yang dilakukan

oleh STM negeri.

Di sekolah teman-teman memperlakukannya seperti orang yang

dikucilkan, sikap sang guru juga kurang baik kepadanya (karena Tigor memang bukan

siswa teladan di sekolahnya). Akhirnya Tigor membuat keputusan untuk berhenti

sekolah. Ia hanya mempunyai ijazah SMP dan tambah menjadi-jadi kehidupan malam

dijalaninya di usianya yang baru 16 tahun itu.

Suatu hari yang paling membuat

orang tuanya shock adalah Tigor yang baru pulang dari Samarinda, membawa Liza

pacarnya ke rumah. Saat itu memang sang kakak sedang nginap juga di rumahnya.

Ketika ditanya oleh orang tuanya, katanya si Liza akan menginap semalam, mau

jalan-jalan dulu di Balikpapan, tidurnya bareng kakaknya saja. Ketika orang

tuanya menanyai Liza apakah sudah ijin kepada orang tuanya, Liza bilang sudah.

Walau masih sedikit curiga karena Liza masih menggunakan seragam pramuka, namun

orang tua Tigor cukup lega karena menurut Liza ia sudah meminta ijin sebelum ke

Balikpapan.

Sampai kemudian terjadi kehebohan besar. Tantenya Tigor telpon ke rumah

menanyai Tigor tentang keberadaan Liza karena orang tua Liza membuat ribut di

rumah tantenya tersebut. Ketika mengetahui Tigor membawa Liza ke Balikpapan,

tantenya langsung menyuruh mamanya Liza berbicara sendiri kepada ibunya Tigor. Ibu

meminta mamanya Liza untuk tidak terlalu khawatir, namun mamanya Liza tetap

bersikukuh meminta alamat Tigor di Balikpapan.

Di tengah tidur pulasnya

Liza, jam 4 subhu, orang tuanya menjemput menggunakan taxi argo. Mereka tampak sangat khawatir karena

Liza adalah anak semata-wayang mereka. Akhirnya Liza dilarang orang tuanya menemui Tigor lagi. Tigor datang ke Samarinda sudah tidak disambut baik lagi oleh

keluarganya Liza. Orang tua Liza tidak suka Tigor bergaul dengan Liza karena Tigor

hanyalah seorang yang lulusan SMP, dan seorang punker. Liza berasal dari keluarga

kaya.

Tigor patah hati berat dengan Liza. Tigor mencoba untuk bunuh diri, namun teman-teman satu kumpulannya mencegahnya. Kehidupan Tigor tambah lekat pada

kehidupan punk. Waktunya habis untuk mengamen dan berkumpul bersama anak-anak punk

di jalanan. Puskib adalah tempat berkumpulnya mereka. Lampu merah adalah tempat

mereka mengamen. Lagu andalan anak-anak punk berjudul “Punk Rock Jalanan”. Lagu itu selalu Tigor nyanyikan saat mengamen, karena Tigor merasa bahwa lagu itu sangat sesuai untuknya, dia memang seorang “Punk Rock Jalanan”.

Sewaktu orang tuanya memohonnya melepaskan diri dari punk, Tigor berkata, “Bu,

mereka juga keluargaku. Sewaktu motorku kehabisan bensin di kilometer 20-an, di

tengah hutan sana, aku menghubungi seorangpun temanku tak ada yang bisa datang

menolongku, tapi ketika aku menelpon Dedy, salah seorang teman punk, semua anak

punk Balikpapan datang menghampiriku, jalan kaki mereka dari kota demi aku,

menemaniku mendorong motor sampai aku bisa mengisi bensin motorku. Aku menangis dalam hati

saat itu. Karena sebenarnya saat itu aku sudah ingin lepas dari mereka. Saat Liza meninggalkanku, punk tidak pernah meninggalkanku.”
Orang tuanya terharu dan tidak sanggup berkata apapun lagi.

Punk memang meresahkan masyarakat, mungkin karena mereka

terkesan urakan, tapi sikap kekeluargaan mereka terhadap sesamanya patut diacungi

jempol. Begitulah kisah Tigor, Punk Rock Jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar